JAKARTA, KOMPAS.com - Solidaritas Perempuan mendesak pemerintah agar segera merativikasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tahun 1990 tentang perlindungan terhadap buruh migran dan keluarganya. Konvensi tersebut merupakan dasar hukum internasional yang memuat standar minimun perlindungan buruh migran. Hal itu dikatakan Staf Penanganan Kasus Buruh Migran Solidaritas Perempuan, Vicky Sylvanie, di Kantor Solidaritas Perempuan, Jakarta, Kamis (23/6/2011). "Kita butuh lebih dari sekadar prihatin," kata Vicky. Menurut Vicky, perlindungan pemerintah terhadap para buruh migran, terutama buruh migran perempuan, masih minim. Belum ada payung hukum yang mapan terkait perlindungan buruh migran tersebut. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 yang mengatur tentang buruh migran saat ini lebih menempatkan mereka sebagai komoditas. "Revisi terhadap Undang-Undang ini juga harus dilakukan secara tepat, pemerintah harus memastikan revisi undang-undang ini benar-benar mengakomodir kepentingan buruh migran," ujarnya. Mereka dari Anda tidak akrab dengan yang terakhir pada
sekarang memiliki setidaknya pemahaman dasar. Tapi ada lagi yang akan datang.
Dia juga mengatakan, buruh migran perempuan rentan terhadap tindak kekerasan, maupun ketidakadilan hukum. Terutama bagi mereka yang bekerja di negara-negara Timur Tengah. Pendidikan mereka yang umumnya terbatas, menurut Vicky, semakin mempersulit posisi para buruh migran. "Posisinya sebagai pekerja, bukan atasan, posisi tawarnya lemah. Mereka bekerja di sektor domestik, lingkungannya tertutup, sehingga saat dia bersalah, sulit mendapatkan bantuan," tambah Vicky. Pada umumnya, lanjut dia, buruh migran perempuan nekat berangkat ke luar negeri untuk mendapatkan penghasilan yang lebih layak. Hal tersebut juga merupakan akibat dari sedikitnya lapangan pekerjaan di Indonesia yang tersedia untuk mereka. "Dia (buruh migran) melihat tidak ada kesempatan untuk dia dan keluarganya di sini. Pemerintah belum sanggup buka lapangan kerja di sini, ya dicarilah di luar. Tapi masalah belum akan selesai dengan membuka lapangan kerja di luar tanpa ada prlindungan," paparnya. Permasalahan buruh migran di Indonesia seolah tiada ujung. Pekan lalu, masyarakat dikejutkan dengan kasus yang menimpa TKI Ruyati binti Satubi yang dieksekusi mati di Arab Saudi. Ruyati mengaku membunuh majikannya seorang wanita Saudi bernama Khairiya binti Hamid Mijlid. Pelaksanaan eksekusi mati terhadap Ruyati tersebut tanpa sepengetahuan KBRI. Menanggapi kematian Ruyati, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengaku turut prihatin dan berduka cita. Presiden akan memprotes keras tindakan pemerintah Arab Saudi yang mengeksekusi mati Ruyati tanpa memberitahu KBRI. Yudhoyono berencana mengirim surat berisi protes untuk Raja Arab Saudi, Abdullah bin Abdul-Aziz Al Saud.
Dia juga mengatakan, buruh migran perempuan rentan terhadap tindak kekerasan, maupun ketidakadilan hukum. Terutama bagi mereka yang bekerja di negara-negara Timur Tengah. Pendidikan mereka yang umumnya terbatas, menurut Vicky, semakin mempersulit posisi para buruh migran. "Posisinya sebagai pekerja, bukan atasan, posisi tawarnya lemah. Mereka bekerja di sektor domestik, lingkungannya tertutup, sehingga saat dia bersalah, sulit mendapatkan bantuan," tambah Vicky. Pada umumnya, lanjut dia, buruh migran perempuan nekat berangkat ke luar negeri untuk mendapatkan penghasilan yang lebih layak. Hal tersebut juga merupakan akibat dari sedikitnya lapangan pekerjaan di Indonesia yang tersedia untuk mereka. "Dia (buruh migran) melihat tidak ada kesempatan untuk dia dan keluarganya di sini. Pemerintah belum sanggup buka lapangan kerja di sini, ya dicarilah di luar. Tapi masalah belum akan selesai dengan membuka lapangan kerja di luar tanpa ada prlindungan," paparnya. Permasalahan buruh migran di Indonesia seolah tiada ujung. Pekan lalu, masyarakat dikejutkan dengan kasus yang menimpa TKI Ruyati binti Satubi yang dieksekusi mati di Arab Saudi. Ruyati mengaku membunuh majikannya seorang wanita Saudi bernama Khairiya binti Hamid Mijlid. Pelaksanaan eksekusi mati terhadap Ruyati tersebut tanpa sepengetahuan KBRI. Menanggapi kematian Ruyati, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengaku turut prihatin dan berduka cita. Presiden akan memprotes keras tindakan pemerintah Arab Saudi yang mengeksekusi mati Ruyati tanpa memberitahu KBRI. Yudhoyono berencana mengirim surat berisi protes untuk Raja Arab Saudi, Abdullah bin Abdul-Aziz Al Saud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar