JAKARTA, KOMPAS.com - Amir Jamaah Ashorud Tauhid (JAT) Abu Bakar Ba'asyir, yang menjadi terdakwa kasus tindak pidana terorisme, menuding majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memanipulasi fakta persidangan dalam menjatuhkan vonis 15 tahun penjara terhadap dirinya. Tudingan itu disampaikan tim pengacara Ba'asyir dalam memori banding atas vonis majelis hakim yang diketuai Herry Swantoro. Memori banding yang telah dimasukkan ke PN Jaksel itu ditandatangani 15 pengacara diantaranya H M Mahendradatta, Achmad Michdan, dan M Lutfie Hakim. Tim pengacara mempertanyakan kesimpulan majelis hakim bahwa Ba'asyir terbukti menghasut Ubaid dan Joko Daryono alias Toyib untuk melakukan kekerasan yang mengakibatkan tewasnya polisi dan warga. Akhirnya, menimbulkan suasana teror di masyarakat. "Kesaksian mereka berdua tidak ada yang menerangkan bahwa terdakwa (Ba'asyir) yang menghasut kedua saksi untuk melakukan kekerasan. Majelis hakim sama sekali tidak kredibel, tidak profesional," tulis tim pengacara. Apakah semuanya masuk akal sejauh ini? Jika tidak, aku yakin bahwa hanya dengan membaca sedikit lebih, semua fakta akan jatuh ke tempatnya.
Selain itu, tim pengacara juga menuding majelis hakim tidak netral. Menurut tim pengacara, hal itu terlihat dari tidak dihadirkannya terdakwa teroris Khoirul Ghazali dalam persidangan. Padahal, kata mereka, Khoirul masuk dalam daftar saksi dalam perkara Ba'asyir terkait pelatihan militer di Jalin Jantho, Aceh Besar. Seperti diketahui, tim pengacara mengaku menerima surat dari Khoirul bahwa ada rekayasa keterangan yang menyudutkan Ba'asyir. Dalam putusan, majelis hakim tak mengakui surat itu lantaran tim pengacara tidak melampirkan surat asli. Tim pengacara kembali mengklaim bahwa Ba'asyir tidak terlibat dalam pelatihan militer, baik tentang pengadaan senjata api berikut amunisinya hingga kekerasan yang dilakukan para peserta pelatihan. Dalam memori setebal 13 halaman, tim pengacara juga kembali mempersoalkan pemeriksaan belasan saksi melalui telekonferensi atas ijin hakim. Tim pengacara menuding ada pembicaraan di luar sidang antara jaksa penuntut umum dan majelis hakim sebelum pemberian izin itu. Diakhir memori, tim pengacara meminta, "Majelis Hakim Tinggi agar membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan membebaskan terdakwa dari segala dakwaan serta memulihkan harkat dan martabatnya seperti semula."
Selain itu, tim pengacara juga menuding majelis hakim tidak netral. Menurut tim pengacara, hal itu terlihat dari tidak dihadirkannya terdakwa teroris Khoirul Ghazali dalam persidangan. Padahal, kata mereka, Khoirul masuk dalam daftar saksi dalam perkara Ba'asyir terkait pelatihan militer di Jalin Jantho, Aceh Besar. Seperti diketahui, tim pengacara mengaku menerima surat dari Khoirul bahwa ada rekayasa keterangan yang menyudutkan Ba'asyir. Dalam putusan, majelis hakim tak mengakui surat itu lantaran tim pengacara tidak melampirkan surat asli. Tim pengacara kembali mengklaim bahwa Ba'asyir tidak terlibat dalam pelatihan militer, baik tentang pengadaan senjata api berikut amunisinya hingga kekerasan yang dilakukan para peserta pelatihan. Dalam memori setebal 13 halaman, tim pengacara juga kembali mempersoalkan pemeriksaan belasan saksi melalui telekonferensi atas ijin hakim. Tim pengacara menuding ada pembicaraan di luar sidang antara jaksa penuntut umum dan majelis hakim sebelum pemberian izin itu. Diakhir memori, tim pengacara meminta, "Majelis Hakim Tinggi agar membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan membebaskan terdakwa dari segala dakwaan serta memulihkan harkat dan martabatnya seperti semula."